"Barangsiapa shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia tidak menambah sesuatupun dari Allah SWT kecuali kejauhan."
Dari segi sanad, telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, al-Qudha'i dalam kitab Musnad asy-Syihab II/43, Ibnu Hatim dalam Tafsir Ibnu Katsir II/414 dan kitab al-Kawakib ad-Darari I/2/83, dari sanad Laits, dari Thawus, dari Ibnu Abbas r.a.
Al-Albani berkata, "hadits tersebut bathil. Walaupun hadits tersebut sangat dikenal dan sering menjadi pembicaraan, namun sanad maupun matannya tidak shahih." Ringkasnya, hadits tersebut sanadnya tidak shahih sampai Rasulullah SAW, tetapi hanya mauquf (berhenti) sampai kepada Ibnu Mas'ud r.a. dan merupakan ucapannya dan juga hanya sampai pada Ibnu Abbas r.a.. karena itu, syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitabul-Iman halaman 12 tidak menyebut-nyebutnya kecuali sebagai riwayat mauquf yang hanya sampai kepada Ibnu Mas'ud dari Ibnu Abbas r.a.
Di samping itu, matannya pun tidak shahih sebab zahirnya mencakup siapa saja yang mendirikan shalat dengan memenuhi syarat rukunnya. Padahal, syara' tetap menghukuminya sebagai yang benar atau sah, kendatipun pelaku shalat tersebut masih suka melakukan perbuatan yang bersifat maksiat. Jadi, tidaklah benar bila dengannya (yakni shalat yang benar) justru akan makin menjauhkan pelakunya dari Allah SWT. Ini sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak perlu dibenarkan dalam syariat. Karena itu, Ibnu Taimiyah mentakwilkan kata-kata "tidak menambahnya kecuali jauh dari Allah" jika yang ditinggalkannya itu merupakan kewajiban yang lebih agung dari yang dilakukannya. Dan ini berarti pula pelaku shalat tadi meninggalkan sesuatu sehingga shalatnya tidak sah, seperti rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Kemudian, tampaklah bukan shalat yang demikian (yakni yang sah dan benar menurut syara') yang dimaksud dalam hadits mauquf tadi.
Dengan demikian, jelaslah bahwa hadits tersebut adalah dha'if baik dari segi sanad maupun matannya. Wallahu a'lam bishshawab.